Sabtu, 23 November 2013

Rahasia Sehat dan Keajaiban Shalat Dhuha

Assalamualaikum Wr.Wb kali ini kita membahas tentang keajaiban sholat dhuha.
Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Setiap tulang dan persendian badanmu ada sedekahnya, setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap amar ma’ruf adalah sedekah, dan setiap nahi munkar adalah sedekah. Maka yang dapat mencukupi hal itu hanyalah dua raka’at yang dilakukannya dari sholat dhuha,” (HR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).
 Meraih sehat tidak hanya dengan cara berolahraga, tapi bisa diraih lewat beribadah, salah satunya dengan ibadah sholat dhuha. Rasulullah Saw bersabda “Shalat dhuha itu shalat orang yang kembali kepada Allah, setelah orang-orang mulai lupa dan sibuk bekerja, yaitu pada waktu anak-anak unta bangun karena mulai panas tempat berbaringnya.” (HR. Muslim).
 Berdasarkan hadist tersebut waktu utama Shalat Dhuha adalah diakhirkan yaitu ketika matahari telah mulai menyengat, pasir mulai panas sehingga panasnya dirasakan oleh kaki anak-anak unta. Jika menurut kondisi di Indonesia antara pukul 10-11.00, atau lebih dari itu tapi hati-hati terhadap waktu haram yang muncul sekitar pukul 11.30 sesuai waktu dzuhurnya. Pada waktu-waktu tersebut tubuh memerlukan energi dan harus bersiap menghadapi strees yang menempa.
Oleh karena itu pada waktu-waktu tersebut kita membutuhkan peregangan untuk kesiapan kita menyongsong hari penuh tantangan. Caranya adalah dengan melaksanakan shalat Dhuha. Jika tidak memungkinkan dikerjakan pada waktu-waktu utama, shalat dhuha bisa dilakukan di awal sebelum melakukan aktivitas harian.
 Apa hubungannya peregangan dengan shalat Dhuha? Rasulullah Saw menyebutkan peregangan dengan ungkapan santun yaitu “Hak dari tiap persendian”. Seperti yang diriwayatkan Buraidah r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda “Dalam tubuh manusia terdapat 360 persendian dan ia wajib bersedekah untuk tiap persendiannya.”

Para sahabat bertanya, “Siapa yang sanggup, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ludah dalam masjid yang dipendamnya atau sesuatu yang disingkirkannya dari jalan. Jika ia tidak mampu, maka dua rakaat Dhuha sudah mencukupinya” (H.r. Ahmad dan Abu Dawud).


Dr. Ebrahim Kazim, seorang dokter, peneliti, serta direktur dari Trinidad Islamic Academy menyatakan, “Repeated and regular movements of the body during prayers improve muscle tone and power, tendon strength, joint flexibility and the cardio-vascular reserve.” Gerakan teratur dari shalat menguatkan otot berserta tendonnya, sendi serta berefek luar biasa terhadap sistem kardiovaskular.
 Itulah peregangan dan persiapan untuk menghadapi tantangan, tapi bedanya dengan olah raga biasa adalah: pahalanya yang luar biasa! Abu Darda’ r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berfirman : “wahai anak adam, shalatlah untuk-ku empat rakaat dari awal hari, maka aku akan mencukupi kebutuhanmu (ganjaran) pada sore harinya” (shahih al-jami: 4339).
 Selain sebagai peregangan untuk menyongsong hari yang penuh tantangan, Shalat Dhuaha mampu menghilangkan resiko stress yang timbul karena kesibukan yang kita lalui. Dengan melaksannakan Shalat Dhuha kita rehat sejenak dari segala aktifitas sehingga kita merasa rilek dan stres pun terhindarkan.
Dr. Ibrahim Kazim menyatakan bahwa secara bersamaan, ketegangan di pikiran akan berkurang disebabkan komponen spiritual saat sholat, dengan adanya sekresi enkefalin, endorphin, dinorfin dan semacamnya “Simultaneously, tention is relieved in the main due to the spiritual component, assisted by the secretion of enkephalins, endorphins, dynorphins, and others.”
Enkefalin dan endorphin merupakan zat sejenis morfin, termasuk opiat. Efek keduanya tidak berbeda dengan opiat lainnya. Zat semacam ini meredakan ketegangan. Bedanya, enkefalin dan endorphin merupakan zat alami yang diproduksi oleh tubuh, sehingga lebih bermanfaat dan terkontrol.

Jika morfin non-alami bisa memberi rasa tenang dan senang namun kemudian ketagihan dan memberikan efek negatif bagi tubuh, maka endorphin dan enkefalin tidak. Zat ini memberi rasa tenang, rileks, bahagia, lega secara alami. Hasilnya, seseorang tampak jauh lebih pede, optimis, hangat dan menyenangkan.
Marilah kita amalkan Shalat Dhuha sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah Swt dan rasakan manfaatnya yang luar biasa bagi kesehatan!
Sumber : http://tahajjudhuha.wordpress.com

Hukum Berpacaran Menurut Islam



Assalamu'alaikum Wr. Wb berikut merupakan artikel tentang hukum berpacaran menurut islam.
Memang larangan mengenai pacaran di dalam Islam tidak dibahas secara gamblang. Mungkin itulah salah satu faktor yang mengakibatkan kebanyakan orang awam tidak dapat menerima atas hukum pelarangan pacaran ini.

Namun, dalam dunia dakwah islam, larangan pacaran adalah hal yang sudah sangat dimengerti, maka aneh sekali manakala ada seseorang yang mengaku sebagai aktivis dakwah islam, namun ia tetap melakukan pacaran.

Meskipun tidak dijelaskan secara gamblang, namun banyak sekali dalil yang dapat dijadikan sebagai rujukan untuk pelarangan aktifitas pacaran tersebut.
Telah sama-sama kita ketahui bahwa Islam adalah agama yang mengharamkan perbuatan zina, termasuk juga perbuatan yang MENDEKATI ZINA.

"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan sesuatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra, 17 : 32)

Apa saja perbuatan yang tergolong MENDEKATI ZINA itu?
Diantaranya adalah:

saling memandang, merajuk atau manja, bersentuhan (berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, dll), berdua-duaan, dll.
Karena unsur-unsur ini dilarang dalam agama Islam, maka tentu saja hal-hal yang di dalamnya terdapat unsur tersebut adalah dilarang. Termasuk aktifitas yang namanya
"PACARAN"

Hal ini sebagaimana telah disebutkan dalam hadits berikut:
Dari Ibnu Abbas r.a. dikatakan: "Tidak ada yang ku perhitungkan lebih menjelaskan tentang dosa-dosa kecil dari pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Allah telah menentukan bagi anak Adam bagiannya dari zina yang pasti dia
lakukan. Zinanya mata adalah melihat (dengan syahwat), zinanya lidah adalah mengucapkan (dengan syahwat), zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan (pemenuhan nafsu syahwat), maka farji (kemaluan) yang membenarkan atau mendustakannya." (HR. Al-Bukhari dan Imam
Muslim)

Dalil di atas kemudian juga diperkuat lagi oleh beberapa hadits dan ayat Al-Qur'an berikut:
"Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita kecuali bersama mahramnya."
(HR. Al-Bukhari dan Imam Muslim)

"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah seorang laki-laki sendirian dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya. Karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan." (HR. Imam Ahmad)

"Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi, itu lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal baginya." (Hadist Hasan, Thabrani dalam Mu'jam Kabir 20/174/386)

"Demi Allah, tangan Rasulallah SAW tidak pernah menyentuh tangan wanita (bukan mahram) sama sekali meskipun dalam keadaan memba'iat. Beliau tidak memba'iat mereka kecuali dengan mangatakan: "Saya ba'iat kalian." (HR. Al-Bukhari)

"Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita." (HR. Malik, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad)

Telah berkata Aisyah
r.a. "Demi Allah, sekali-kali dia (Rasul) tidak pernah menyentuh tangan wanita (bukan mahram) melainkan dia hanya membai'atnya (mengambil janji) dengan perkataaan."
(HR. Al-Bukhari dan Ibnu
Majah).

"Wahai Ali, janganlah engkau meneruskan pandangan haram (yang tidak sengaja) dengan pandangan yang lain.
Karena pandangan yang pertama mubah untukmu.
Namun yang kedua adalah haram." (HR. Abu Dawud, Ath-Tirmidzi dan dihasankan oleh Al-Albani)

"Pandangan itu adalah panah beracun dari panah-panah iblis. Maka barang siapa yang memalingkan (menundukan) pandangannya dari kecantikan seorang wanita, ikhlas karena Allah, maka Allah akan memberikan di hatinya kelezatan sampai pada hari Kiamat." (HR. Imam Ahmad)

Dari Jarir bin Abdullah
r.a. dikatakan: "Aku bertanya kepada Rasulallah SAW tentang memandang (lawan-jenis) yang (membangkitkan syahwat) tanpa disengaja. Lalu beliau memerintahkan aku mengalihkan (menundukan) pandanganku." (HR. Imam Muslim)

"Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidak-lah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk (merendahkan suara) dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik." (QS. Al-Ahzab, 33 : 32)

Demikianlah yang dapat saya tulis, semoga bermanfaat.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Sumber : http://beni.yu.tl 

Larangan Pria Memakai Pakaian Sutera



Assalamualaikum Wr.Wb kali ini saya akan membahas tentang larangan pria memakai pakaian sutera dalam ajaran agama islam.

Di antara jenis pakaian yang terlarang bagi pria adalah pakaian sutera. Pakaian ini terlarang bagi pria, namun dibolehkan bagi wanita.
Kebanyakan ulama -bahkan ada yang menukil sebagai konsensus (ijma’) mereka- bahwa memakai sutera murni bagi pria itu haram kecuali jika dalam keadaan darurat. Dalil-dalil yang menunjukkan  haramnya:
Dari Anas bin Malik, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَلْبَسُوا الْحَرِيرَ فَإِنَّهُ مَنْ لَبِسَهُ فِى الدُّنْيَا لَمْ يَلْبَسْهُ فِى الآخِرَةِ
Janganlah kalian memakai sutera karena siapa yang mengenakannya di dunia, maka ia tidak mengenakannya di akhirat.” (HR. Bukhari no. 5633 dan Muslim no. 2069). Padahal pakaian penduduk surga adalah sutera. Jadi seakan-akan hadits di atas adalah kinayah (ibarat) untuk tidak masuk surga. Allah Ta’ala berfirman mengenai pakaian penduduk surga,
وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ
Dan pakaian mereka adalah sutera” (QS. Al Hajj: 23).
Juga terdapat riwayat dari Hudzaifah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَلْبَسُوا الْحَرِيرَ وَلاَ الدِّيبَاجَ وَلاَ تَشْرَبُوا فِى آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ ، وَلاَ تَأْكُلُوا فِى صِحَافِهَا ، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِى الدُّنْيَا وَلَنَا فِى الآخِرَةِ
Janganlah kalian mengenakan pakaian sutera dan juga dibaaj (sejenis sutera). Janganlah kalian minum di bejana dari emas dan perak. Jangan pula makan di mangkoknya. Karena wadah semacam itu adalah untuk orang kafir di dunia, sedangkan bagi kita nanti di akhirat.” (HR. Bukhari no. 5426 dan Muslim no. 2067).
Begitu pula dari ‘Umar bin Khottob, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا يَلْبَسُ الْحَرِيرَ فِى الدُّنْيَا مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ فِى الآخِرَةِ
Sesungguhnya yang mengenakan sutera di dunia, ia tidak akan mendapatkan bagian di akhirat” (HR. Bukhari no. 5835 dan Muslim no. 2068)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang kafir mereka bisa mengenakan emas dan perak di dunia. Adapun di akhirat, mereka tidak akan mendapatkan bagian apa-apa. Sedangkan orang muslim, mereka akan mengenakan perak dan emas di surga. Dan mereka akan mendapatkan kenikmatan yang lain yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah terbetik dalam hati.” (Syarh Shahih Muslim, 14: 36)
Dari Abu Musa Al Asy’ari, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِى وَأُحِلَّ لإِنَاثِهِمْ
Diharamkan bagi laki-laki dari umatku sutera dan emas, namun dihalalkan bagi perempuan.” (HR. Tirmidzi no. 1720).
Di antara hikmah kenapa sampai emas dan sutera dilarang:
1- Tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang kafir sebagaimana disebutkan dalam hadits Hudzaifah di atas.
2- Tasyabbuh (penyerupaan) dengan wanita.
3- Berlebihan dalam mengenakan sutera bukanlah sifat jantan dari laki-laki. Memang laki-laki dituntut pula untuk berhias diri namun tidak berlebih-lebihan. (Lihat Al Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom karya Syaikh ‘Abdullah bin Sholih Al Fauzan, 4: 207)
Sumnber : http://rumaysho.com

Jumat, 22 November 2013

Hukum Mengumpulkan Rambut Saat Haid



Assalamualaikum Wr.Wb kali ini saya akan membahas tentang hukum mengumpulkan rambut saat haid.
Tidak ada syariat mengumpulkan rambut yang rontok saat wanita dalam masa Haid.
Mengumpulkan rambut yang rontok, atau dicukur, atau dicabut termasuk mengumpulkan kuku yang dipotong atau yang semisal pada saat wanita sedang Haid adalah ketentuan yang tidak ada dasarnya baik dalam Al-Quran maupun As-Sunnah.
Alasan bahwa wanita pada saat sedang Haid tubuhnya adalah najis sehingga jika ada bagian tubuh yang terpotong maka bagian tersebut harus disucikan, adalah alasan yang tidak bisa diterima karena seorang mukmin itu suci, dan tidak Najis baik dalam keadaan hidup maupun mati. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (1/ 474)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَقِيَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا جُنُبٌ فَأَخَذَ بِيَدِي فَمَشَيْتُ مَعَهُ حَتَّى قَعَدَ فَانْسَلَلْتُ فَأَتَيْتُ الرَّحْلَ فَاغْتَسَلْتُ ثُمَّ جِئْتُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَقَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هِرٍّ فَقُلْتُ لَهُ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ يَا أَبَا هِرٍّ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَا يَنْجُسُ
Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berjumpa dengan aku padahal aku dalam keadaan junub. Beliau menggandeng tanganku hingga aku pun berjalan bersama beliau hingga beliau duduk. Aku lantas pergi diam-diam kembali ke rumah untuk mandi. Kemudian kembali lagi dan beliau masih duduk. Beliau lalu bertanya: “Kemana saja kamu tadi wahai Abu Hurairah?” Maka aku ceritakan pada beliau. Beliau lalu bersabda: “Subhanallah! Wahai Abu Hurairah, seorang Muslim itu tidaklah najis.”(H.R.Bukhari)
Alasan bahwa wanita pada saat sedang Haid tubuhnya terkena Janabah sehingga jika ada bagian tubuh yang terpotong maka bagian tersebut tetap dihukumi tubuh yang Junub yang harus disucikan juga tidak bisa diterima karena alasan ini adalah penetapan hukum Syara’ dengan Manthiq (logika), bukan Istinbath (penggalian hukum) Nash apa adanya. Hukum Syara’ tidak boleh ditetapkan dengan Manthiq, tetapi harus ditetapkan dengan Istinbath yang Syar’i.
Lagipula, Nash menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari badan seperti rambut dan daging tidak dihukumi Junub yang harus dimandikan sendiri seperti memandikan badan yang Junub. Abu Dawud meriwayatkan;
سنن أبى داود – م (1/ 139)
عَنْ عُثَيْمِ بْنِ كُلَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّهُ جَاءَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ قَدْ أَسْلَمْتُ. فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ ». يَقُولُ احْلِقْ. قَالَ وَأَخْبَرَنِى آخَرُ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لآخَرَ مَعَهُ « أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ ».
Dari ‘Utsaim bin Kulaib dari Ayahnya dari kakeknya bahwasanya dia pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata; Saya masuk Islam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Buanglah rambut kafirmu”. Maksudnya beliau bersabda: “Cukurlah”. Dan perawi lain telah mengabarkan kepadaku bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada orang lain yang bersamanya: “Cukurlah rambut kafirmu dan berkhitanlah (H.R.Abu Dawud)“.
Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang baru masuk Islam diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mencukur rambutnya dan berkhitan. Mencukur rambut bermakna memisahkan sebagian rambut dari tubuh. Berkhitan bermakna memisahkan sebagian daging dari tubuh. Perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada orang yang baru masuk islam untuk mencukur rambut dan berkhitan sebelum mandi besar menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari badan tidak dihukumi Junub sehingga harus dimandikan dulu sebelum terpisah dari tubuh. Oleh karena itu hadis ini menunjukkan bahwa bagian tubuh yang terpisah dari badan oleh orang yang terkena Janabah tidak dihukumi Junub yang harus dimandikan tersendiri.
Yang lebih menguatkan lagi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan Aisyah untuk bersisir padahal dalam kondisi Haid. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (2/ 24)
عَنْ عُرْوَةَ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ
أَهْلَلْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَكُنْتُ مِمَّنْ تَمَتَّعَ وَلَمْ يَسُقْ الْهَدْيَ فَزَعَمَتْ أَنَّهَا حَاضَتْ وَلَمْ تَطْهُرْ حَتَّى دَخَلَتْ لَيْلَةُ عَرَفَةَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ لَيْلَةُ عَرَفَةَ وَإِنَّمَا كُنْتُ تَمَتَّعْتُ بِعُمْرَةٍ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ انْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَأَمْسِكِي عَنْ عُمْرَتِكِ فَفَعَلْتُ فَلَمَّا قَضَيْتُ الْحَجَّ أَمَرَ عَبْدَ الرَّحْمَنِ لَيْلَةَ الْحَصْبَةِ فَأَعْمَرَنِي مِنْ التَّنْعِيمِ مَكَانَ عُمْرَتِي الَّتِي نَسَكْتُ
Dari ‘Urwah bahwa ‘Aisyah berkata, “Aku bertalbiyah (memulai haji) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada haji Wada’. Dan aku adalah di antara orang yang melaksanakannya dengan cara Tamattu’ namun tidak membawa hewan sembelihan.” Aisyah menyadari bahwa dirinya mengalami Haid dan belum bersuci hingga tiba malam ‘Arafah. Maka ‘Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, malam ini adalah malam ‘Arafah sedangkan aku melaksanakan Tamattu’ dengan Umrah lebih dahulu?” Maka bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepadanya: “Urai dan sisirlah rambut kepalamu, lalu tahanlah Umrahmu.” Aku lalu laksanakan hal itu. Setelah aku menyelesaikan haji, beliau memerintahkan ‘Abdurrahman pada malam Hashbah (Malam di Muzdalifah) untuk melakukan Umrah buatku dari Tan’im, tempat dimana aku mulai melakukan Manasikku.”(H.R.Bukhari)
Wanita yang bersisir secara alami akan membuat sebagian rambutnya rontok. Seandainya mengumpulkan rambut saat Haid dengan maksud disucikan tersendiri disyariatkan, niscaya nabi akan mengajarkan hal tersebut kepada aisyah. Kenyataannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak menyinggung sama sekali masalah pengumpulan rambut. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada syariat pengumpulan rambut, atau kuku, atau daging yang terpisah dari badan saat orang dalam keadaan Junub seperti sedang hadis atau setelah berhubungan suami istri.
Adapun larangan memotong rambut atau kuku dengan alasan bahwa orang yang Junub jika memotong rambutnya atau kukunya, maka di akhirat seluruh bagian tubuhnya akan kembali kepadanya, dan pada hari Kiamat dia akan berdiri dalam keadaan tubuhnya mengandung Janabah dengan kadar sesuai dengan bagian tubuh yang dihilangkan dalam kondisi Junub ketika di dunia, dan setiap rambut akan mengandung Janabah sesuai dengan kadar rambut yang dihilangkan dalam keadaan Junub di dunia yang mana rambut berjanabah tersebut akan menuntut pemiliknya,misalnya seperti rekomendasi Al-Ghazzali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin;
إحياء علوم الدين (2/ 51)
ولا ينبغي أن يحلق أو يقلم أو يستحد أو يخرج الدم أو يبين من نفسه جزءا وهو جنب إذ ترد إليه سائر أجزائه في الآخرة فيعود جنبا ويقال إن كل شعرة تطالبه بجنابتها
“Tidak seyogyanya mencukur rambut,memotong kuku, mencukur bulu kemaluan, mengeluarkan darah, atau memisahkan anggota tubuh dalam keadaan Junub, karena seluruh anggota tubuh akan dikembalikan di akhirat, sehingga kembalinya dalam keadaan junub. Konon, setiap satu rambut kan menuntut hamba karena Janabahnya itu” (Ihya Ulumuddin, vol.2 hlm 51)
Maka keyakinan  ini adalah keyakinan yang tidak bisa dipegang. Kepercayaan ini tidak didasarkan pada riwayat yang shahih dan tidak dinyatakan dalam Al-Quran dan Assunnah baik secara eksplisit maupun implisit. Imam Al-Ghazzali sendiri mengutip statemen tersebut tanpa menjelaskan asal-usul riwayat berikut sanadnya.  Ibnu ‘Utsaimin dalam “Fatawa Nur ‘Ala Ad-Darbi” berpendapat bahwa larangan bersisir saat Haid, atau memotong kuku hanya dinyatakan dalam kitab-kitab Ahli Bid’ah seperti Muhammad Yusuf Al-Ibadhy dalam kitabnya “Syarhu An-Nail Wa Syifa’-u Al-‘Alil”. Wallahua’lam.

sumber :   


http://abuhauramuafa.wordpress.com